Mohammad Hatta Sang Proklamator Indonesia
Siapa yang tidak mengenal salah satu pahlawan atau tokoh Proklamator Indonesia ini bersama
Presiden Soekarno.
Sangat bersahaja dan sederhana hingga akhir hayatnya ini itulah sosok
Mohammad Hatta yang lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi.
Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan
keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta
berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara
perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di
kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916,
timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen
Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong
Sumatranen Bond.
Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti
keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari
iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para
anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung
jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad
Hatta.
Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels
Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische
Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi
Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan
Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia
(PI). Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra,
terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun
1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Hatta lulus
dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923.
Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada
akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI.
Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum
administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya
yang besar di bidang politik.
Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta
memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di
Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi
diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia
Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan
organisasi-organisasi internasional. Hatta dan pergerakan nasional
Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan
Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di
Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan
dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo
Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di
Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey
(Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru
mulai dirintis sejak saat itu.
Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan
ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan"
di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I'
Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan). Bersama dengan Nazir
St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat,
Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928,
mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala
tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato
pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur
dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka. Antara tahun
1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan
karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia
merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.
Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri
Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932
dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik
dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan
politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan
Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada
kader-kadernya. Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno
sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang
berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada
tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan"
(10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap
Pemimpin" (10 Desember 1933).
Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah
Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan
Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia
ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh
orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan
Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan
Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di
penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis
buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.
Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah,
Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen,
menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah
40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal,
atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan
tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia
mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti
telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia
ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.
Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk
surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah
Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel
dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16
peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk
memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu
ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di
kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke
Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).
Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen,
memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke
Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka
bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di
Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk
setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang
sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.
Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada
tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang,
dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai
penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk
merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala
pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa
Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan
Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri.
Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata
terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah
sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu
didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada
bulan September 1944.
Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil
Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia,
sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa. Pada
tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam
Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya.
Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu
Soekamo,
Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu
ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta
Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar
Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan
itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota
lainnya menanti. Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut
ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua
yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.
Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh
Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam
10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta. Tanggal 18 Agustus
1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs.
Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia.
Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden
harus merupakan satu dwitunggal.
Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah
Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia
pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda
menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi
selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda. Untuk
mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India
menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai
kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang
kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri
Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan
protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.
Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI
melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan
agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka.
Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus
berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin
perjuangan bersenjata. Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung
Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar
untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana. Bung
Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik Indonesia
Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.
Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan
ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap
menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan
koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan
cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta
mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia.
Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada
tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada
Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta
mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul
Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).
Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan
konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri
sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu
diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr.
Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah
Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta
mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia
akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno
berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.
Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis
yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada
di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato
pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”. Sesudah Bung Hatta
meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis
juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas
Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam
ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang
memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas
Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum.
Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji
Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan
dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia
waktu itu. Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan
negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus. Hatta
menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa
Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu
Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya
yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan
yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat
menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan
Mohamad Athar Baridjambek.
Pada tanggal 15 Agustus 1972,
Presiden Soeharto
menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan
tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara
kenegaraan di Istana Negara. Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan
Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret
1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun
dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980.
Berikut Biodata dari Mohammad Hatta
Nama : Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta)
Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980
Istri : (Alm.) Rahmi Rachim
Anak :
- Meutia Farida
- Gemala
- Halida Nuriah
Gelar Pahlawan : Pahlawan Proklamator RI tahun 1986
Pendidikan :
- Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)
- Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)
- Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921)
- Gelar Drs dari Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
Karir :
- Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
- Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
- Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda (1925-1930)
- Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
- Ketua Panitia (PNI Baru) Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
- Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang (April 1942)
- Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Mei 1945)
- Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)
- Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945)
- Wakil Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945)
- Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948 - Desember 1949)
- Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana (1949)
- Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri
Kabinet Republik Indonesia Serikat (Desember 1949 - Agustus 1950)
- Dosen di Sesko Angkatan Darat, Bandung (1951-1961)
- Dosen di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1954-1959)
- Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi (1969)
- Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai Pancasila (1975)
semoga bermanfaat untuk anda:)
sumber:http://www.biografiku.com